Wednesday, July 25, 2007

Kumis Pun Jadi Jualan

Semakin kreatif dan menggelitik memperhatikan warna-warni Pilkada Jakarta. Rame! Mulai dari usulan calon independen yang kandas, meski pada akhirnya Mahkamah Konstitusi mengijinkan juga. Namun, kereta sudah berangkat. Jadilah, calon independen itu harus sabar menunggu sampe kereta berikutnya tiba tahun 2012.

Lalu, demo demi demo menghujani KPUD. PKS merasa dicurangi. Mulai dari Ghost Voters sampai yang ga terdaftar. Masalah ghost voters ini, gw pikir kalaupun ada mesti Fauzi Bowo yang meraup semua suara. Bukan karena dia adalah wagub yang bisa menggerakkan birokrat. Tapi, dia memang menyiapkan juru kampanye yang mumpuni. Dalam nama jurkam yang disetor ke KPUD tertera nama Taufik Savalas yang sudah almarhum. Sedangkan kubu Adang tidak menyiapkan jurkam khusus untuk para "ghost voters" ini.

Tapi, ghost voters ini ada yang benar-benar "ghost". Ada yang sudah meninggal dunia, masih dimasukkan kedalam Daftar Pemilih Tetap. Wajar sih. Masa' ga ada yang mati selama kurun waktu pendaftaran pemilih sampai pencoblosan.

Sekarang, Jakarta terkepung spanduk. Sebagian spanduk mengundang tawa dengan sentilan sedikit nakal.

Adang : Relawan Oranye
Foke : Orangnye Jakarta

Foke : Serahkan Kepada Ahlinya
Adang : Ahlinya Ke Mane Aje?

Adang : Ayo Benahi Jakarta
Foke : Percayakan Pembenahan Jakarta Kepada Ahlinya

Foke : Keberagaman (Secara didukung 20 partai politik)
Adang : Pok Ame-Ame, Belalang Kupu-Kupu, Dikeroyok Rame-Rame, Tetap Pilih Nomor Satu

Adang : Bosan Ama Pemimpin Lama, Pilih Yang Baru
Foke : New Comer, Kagak Deh

Tapi, Foke unggul karena dia berkumis. Bunyi posternya : "Coblos Yang Ada Kumisnye"

Mungkin untuk mengimbanginya, Adang perlu memelihara jenggot. Jadi "Coblos Yang Ada Jenggotnye"
*f1

Friday, July 6, 2007

Ketika Rambutku Tak Lagi Gondrong

Tertawa...berhenti sejenak, lalu meluncur pertanyaan,"Elu kenapa Sof? Stres ya?". Reaksi seperti itulah yang kudapat dari teman-temanku melihat potongan rambut baruku. Dimulai dari teman kos, teman liputan, teman kantor. Semuanya kaget. Seperti tumbuh tanduk saja dikepalaku. Hehehe...

16 Juni 2007
TKP : Suatu salon di Mal Ciputra

Ya, disitulah aku memotong rambutku.

Ketika aku sampai di Depok, saat aku membuka helm, beberapa teman langsung tertawa terbahak-bahak. Mungkin ini adalah potongan rambutku yang terpendek sejak beberapa tahun terakhir.

"Elu cupu banget. Ga kayak wartawan," kata seorang kawan.

Ada juga yang menduga aku sedang patah hati. Ada pula yang mengira aku akan berganti profesi. "Elu keluar dari Tempo?" tanyanya. Ada lagi yang suka sekali mengusap rambutku, seperti ada yang aneh saja.

Namun, ada satu komentar yang paling mendalam. "Elu motong rambut seperti Guevara menjadi kapitalis," kata seorang kawan dengan ekspresi datar. Maksudnya?? "Menurut gue, kegondrongan rambut lu menunjukkan idealisme lu," lanjutnya ga jelas.

Saat memasuki ruang rapat Metro Senin malam kemarin, Redpel Metro bertanya,"Pertanyaan pertama : Sof, kenapa lu potong rambut?"

Ada teman yang menjawab gara-gara depresi dikantor. "Ga ada jadwal sebulan, jadi kayak gitu," ujarnya.

Tapi, nampaknya hanya satu teman yang mengerti. Saat itu, gue datang ke pernikahan teman. "Gue kaget saat lihat lu datang dengan potongan rambut baru," katanya. "Tapi, saat gue lihat seseorang dibelakang lu, gue ngerti."

Ia tak salah, tapi juga ga sepenuhnya benar. Cerita sebenarnya cukup menggelikan.

Dulu, gue pernah memanjangkan rambut sepinggang. Waktu itu gue berjanji ga akan memotong rambut sebelum lulus kuliah. Apa hendak dikata, gue ga lulus-lulus. Jadi semakin panjang rambut gue, sampai akhirnya gue menyerah dan memotong tuh rambut.

Sekitar setahun yang lalu, gue mendapat panggilan Mr.Bob gara-gara potongan rambut. Sekarang, ada yang bilang mirip tokoh dalam kartun Jepang. Ada yang bilang mirip Lupus. Sudahlah...ini cuma masalah rambut yang bisa panjang lagi.

Tiga Lembar Surat Yang Terlupakan

Seminggu yang lalu, saat gw pindah kamar, merapikan barang-barang, buku agenda tahun 2005-ku terselip diantara tumpukan buku yang lain. Buku itu cukup menarik perhatianku, kupisahkan dari yang lain.

Tiga jam kemudian, jam 2 dinihari, badanku terasa lelah. Kubaringkan tubuh diatas tempat tidur yang berderit setiap kali aku bergerak. Kepalaku menyentuh agenda itu. Kunyalakan lagi lampu kamar, ku buka agenda yang mulai berdebu itu. Mulai dari halaman depan, coret-coretan jadwal, rencana, curhat, sampai tulisan yang tak terbaca.

Di dalam agenda itu juga terselip berbagai kertas, mulai dari kuitansi, formulir, foto, sampai kertas yang ga jelas buat apa. Satu hal yang membuatku penasaran. Sepertinya sebuah amplop, berwarna biru muda polos. Ku ambil amplop itu, tak ada tulisan apapun. Namun masih belum dibuka. Dan aku semakin penasaran, kuterawang ke arah lampu. Isinya kemungkinan besar memang surat. Surat apa? Dari siapa? Untuk Siapa? Mengapa sekarang aku baru mengetahui surat itu ada?

Kuputuskan membuka amplop dan membaca isinya. Tiga lembar jumlahnya. Kertas halaman buku tulis biasa. Sekilas, aku mengenal tulisan tangan yang rapi itu. Dan memang benar surat tanpa tanggal itu tertuju untukku.

Aku semakin kaget membaca kata demi kata dalam surat itu. Dan aku hanya bisa meminta maaf dalam hati. Aku melupakan surat itu. Bahkan baru kubaca setelah dua tahun ditulis untukku. Ya, hanya maaf yang bisa terucap. Mungkin banyak hal yang berbeda seandainya saja aku dulu membacanya. Mungkin juga tidak. Maaf...

Obrolan Santai Di Kantin Kantor Polisi

Suatu hari di kantin kantor polisi. Gw sedang duduk sendiri sambil menyeruput segelas teh manis. Dua orang pria paruh baya duduk disebelahku. Berawal dari meminjam korek api untuk menyalakan rokok, kami pun akrab dalam obrolan.

"Polisi semakin hari semakin bahaya," katanya.

Aku sedikit heran meski tak kaget dengan kata-katanya. "Kok bisa?"

Ia pun menceritakan pengalaman saudaranya beberapa bulan yang lalu. "Ada keponakan saya ditangkap saat razia. Polisi menemukan sebutir ekstasi dimobilnya," katanya. Keponakannya diancam akan dipenjara kecuali menyerahkan sejumlah uang.

Ia yakin sekali keponakannya tak bersalah. "Merokok pun dia ga pernah. Pernah saya ajak ke diskotik, kakinya gemetaran. Mana mungkin kenal Narkoba," paparnya. Oleh karena itu, ia curiga polisi tersebut menjebak keponakannya. "Pasti saat menggeledah mobil, pil itu ditaruh oleh polisi tersebut," ujarnya. Makanya, kita harus waspada pada saat polisi menggeledah mobil. Jangan sampai kita menjadi korban seperti keponakan laki-laki tersebut. 2 juta pun melayang. *F1

Tilang Jilid 2

Bulan lalu, untuk kedua kalinya gw kena tilang. Sekitar jam 11 siang gw lewat Jalan TB Simatupang. Dekat RSUD Pasar Rebo sejumlah aparat berseragam coklat berjajar menghadang pengendara sepeda motor. Diwilayah ini aparat emang rajin melakukan operasi. Tujuannya? Entahlah.

Lalu, seorang aparat menyetopku. Memintaku menunjukkan SIM dan STNK. Keduanya sih aku punya, tapi SIM masih dititipkan di PN. Hehehe. Satu-satunya yang aku punya adalah STNK. "Enam hari lagi pajaknya habis," kata polisi tersebut.

"Sebenarnya sudah lewat 1 tahun," jawabku.

"Wah, iya. Kamu saya tilang," katanya baru sadar bahwa 6 hari lagi sudah lewat 2 tahun.

"Pelanggaran apa pak?"

"Ini. Pajakmu mati. Apa mau disita motornya?"

"Kok disita. Kan yang mati cuma pajak. STNK masih berlaku sampai 2009."

"Ga bisa. STNK mu buat garuk-garuk juga ga bisa," katanya melecehkan sambil menggunakan STNK ku untuk menggaruk tengkuknya.

Aku tersinggung saat itu. Ia tak menunjukkan sopan santun sebagai aparat yang seharusnya menjadi teladan. Aku protes, tapi ia tetap memaksa. "Ya sudah. Kalo emang salah, tilang saja," jawabku. Daripada bersitegang dengan orang yang bebal, mending gw selesaikan besoknya di Samsat. Hehehe

Ia lalu memanggil seorang Polantas untuk memberiku tilang. Ketika Polantas itu menulis tilangku, ia bertanya,"Pekerjaan apa?"

"Wartawan," jawabku.

"Kalau saya tahu wartawan pasti saya lepas. Saya cuma disuruh nulis doang," katanya.

"Ga apa-apa. Besok sudah bisa saya ambil di Samsat kan?" tanyaku.

"Nanti sore saya setor. Jam 10 besok sudah bisa diambil kalau memang kenal orang sana," ujarnya.

"Oke. Ntar saya minta tolong Pak Indra," kataku.

"Ya, Indra Fajar."

"Indra Jafar," kataku. Masa' nama pimpinan sendiri ia salah.

Lalu, gw ke rumah mbak YP. Dari sana, gw meluncur ke PN Jaktim. Gw mau ngambil SIM termasuk titipan Andre. Diloket, tampaknya petugas loket melihat kartu persku. Ketika gw tanya berapa, ia jawab,"Berapa aja lah." Gw berikan dua lembar uang 10 ribuan. Padahal di secarik kertas yang dijepretkan di SIM ku dan Andre tertulis masing-masing Rp 30 ribuan. Ya, modus lama memanipulasi denda tilang.

Lalu, gw menelpon Kasatlantas Jaktim Kompol IJ. Gw minta bertemu. Ia setuju besok jam 12 siang. Setelah bertemu dengan IJ, dibuka dengan pertanyaan mbak YP, ada beberapa pencerahan yang didapat.

"Polisi tidak bisa menilang jika pajak mati. Kita cuma bisa menghimbau," kata Kompol IJ. Jadi, jika ada polisi yang ingin membodohi masyarakat dengan berpura-pura tidak tau batas kewenangannya, terkutuklah dia.

Dan mengapa gw ga bayar pajak motor? Ceritanya rumit. Gw mau bayar tapi ditolak. Kok bisa? Itulah Indonesia. Nama yang tertera di STNK tidak sama dengan KTP-ku. Jadi, mau bayar aja dipersulit. Jangan-jangan memang untuk melanggengkan modus-modus pembodohan yang berujung kepada pemerasan. *F1

Air Mata

Menangislah bila harus menangis
Karena kita semua manusia

(Dewa 19)

Malam ini aku pindah kamar di tempat kos yang sama. Tak butuh waktu lama untuk memindahkan barang-barangku dari lantai dua ke kamarku yang baru dilantai satu. Sambil mengangkat kotak demi kotak barang ke lokasi yang baru, aku ngobrol di telepon dengan dia. Sebelum jam 11 malam, kami menyudahi pembicaraan. Lalu, sebuah pesan pendek darinya mampir di ponselku. Ia mengatakan ia menangis hari ini karena salah satu mantannya memutuskan untuk tidak mengenalnya lagi. Pasalnya si mantan marah karena dia menolak untuk kembali menjalin hubungan. Tidak sekedar itu, si mantan juga mengajaknya menikah.

Hatiku terasa pilu. Bukan karena ulah sang mantan. Tapi karena air mata yang diteteskan oleh perempuan yang kucintai. Ia perempuan yang kuat. Takkan mudah baginya menitikkan air mata. Ia hanya menjawab,"Aku sedih karena keputusan dia yang tak mau mengenalku lagi."

Hatiku pilu karena ia menitikkan air mata untuk orang lain. Meski aku pun tak pernah berharap ia menangis karenaku. Aku berjanji tak akan pernah menyakitinya.

Jika hubungan kami harus berakhir, entah bagaimana ia akan mengenangku. Yang jelas aku ingin ia mengenangku sebagai laki-laki yang selalu mencintainya. Aku ingin ia mengenangku sebagai laki-laki yang akan selalu menyayanginya. Aku ingin ia mengenangku sebagai laki-laki yang akan selalu menjaganya. Aku ingin ia mengenangku sebagai laki-laki yang akan melakukan apapun untuk membahagiakannya. Bahkan jika aku tak bisa bersamanya. Bahkan jika aku tak dapat memilikinya. Tapi entahlah…

I'm a man. Man doesn't cry. But i remember…the last tears I cry is for her. (Ternyata gw pria melankolis....hehehe)

Tidak Harus Tidur Untuk Bermimpi

Terkadang aku berada dalam situasi dimana satu bagian dalam hidup terasa bagaikan mimpi indah. Tapi, aku sadar kadang aku terbuai dengan harapan yang membumbung tinggi. Dan suatu hari, cepat atau lambat, mimpi itu harus berakhir tanpa harus terbangun dari tidur.

Dan mimpi itu terjadi kemarin, tanpa aku harus terlelap. Dan cepat atau lambat akan berakhir dalam kejapan mata, entah menjadi nyata atau memang cuma mimpi. Bisa jadi kenyataannya begitu menyesakkan dada. Kapan? May...may be yes, may be no. Tapi dia yang memberiku mimpi memberikan tenggat waktu. "Dalam beberapa minggu ini pasti ku pastiin," ujarnya. "Aku masih kurang yakin."

Beberapa minggu?! Wow...Sanggupkah jantungku bertahan untuk terus berdetak sampai detik itu. Entahlah. Andai ia tahu, jangankan hitungan minggu, dalam rentang jam saja jiwaku sudah cukup tersiksa.

Terkadang pilihan yang termudah adalah yang terbaik. Haruskah aku begitu? Mungkin aku harus menenggelamkan diriku dalam kerja yang tak pasti. Kantor yang absurd. Tak usah bermimpi dalam sadar.

Adakah dia berbagi mimpi yang sama denganku? Dan aku akan berhenti bermimpi. Dan aku tak akan memimpikannya dalam sadar. Meskipun aku tahu aku memang sangat mencintainya. Aku tak ingin mengecewakannya. Ya, cintaku tak berarti tanpa bahagianya.

Seperti paradoks dalam lirik lagu Guns n' Roses : I can't have u right now, I'll wait
Or
I used to love her but i have to kill her
Hehehe...
But i don't have to bury her six feets under in my backyard
I just have to kill her in my mind, in my heart.

Manusia tak bisa selamanya bermimpi.

Life goes on, begitu pula hidupku dengan atau tanpa dirinya. Mungkin berhenti sejenak, lalu berlari...

Akhir Juli. Tenggat waktu yang menentukan. Satu keputusan penting dalam hidupku akan terjadi paling lambat pada tanggal 31 Juli 2007. Sayangnya, bukan aku yang punya kuasa yang menentukan.

Aku ingat kejadian beberapa tahun yang lalu. Mirip tapi tak serupa. Seorang perempuan bertanya padaku apakah aku menyukainya. Aku bertanya balik. "Kamu suka ga denganku?"

"Suka," jawabnya singkat. "Lalu kamu gimana?"

Aku terdiam sejenak. Berusaha menyimak dan mencerna pembicaraan kami. "Emang kalau aku suka gimana?"

"Oke," katanya lebih singkat lagi.

Sesaat terjadi keheningan. Aku bertanya-tanya apa maksudnya oke?

"Tapi, kamu aku beri waktu 1 tahun," lanjutnya.

Satu tahun?! Untuk apa?

"Dalam satu tahun aku akan melihat apa yang terjadi," ujarnya.

Semuanya membingungkan bagiku. Pertama, aku masih tak mengerti apa maksud kata "oke" yang keluar dari bibir tipisnya. Apakah ia berpikir pertanyaanku tadi merupakan pernyataan cintaku kepadanya? Kedua, ia memberiku waktu satu tahun. Lalu, dengan kebingungan yang masih menggantung, dua bulan kemudian, ia menyatakan aku layak untuk menjadi pacarnya. Hah! Bagaimana semua keputusan seperti itu ia yang menentukan? Ia menentukan bahwa aku telah menyatakan cinta kepadanya. Ia menentukan tenggat waktu satu tahun. Ia menentukan bahwa aku lulus masa percobaan. Mengapa aku mau menjalani itu semua? Entahlah. Ternyata aku gagal memenuhi deadline berikutnya. Menikah.

Setelah setahun lebih menjadi wartawan sebuah harian "waktu", aku semakin terbiasa dengan tenggat waktu alias deadline. Aku menghadapi tantangan deadline setiap hari. Tapi, aku tak menyangka dalam urusan cinta aku masih harus berhadapan dengan deadline.

Deadline ini tak hanya untukku. Tapi ia juga memberi deadline untuk dirinya sendiri. Que sera sera.

Mimpi

Mimpi selalu menjadi misteri bagi manusia. Ia berada diambang sadar dan luar sadar.Ia berada pada kedua dan antaranya. Beragam penafsiran muncul atas mimpi. Ahli-ahli tafsir mimpi bermunculan dan memegang posisi penting dalam sejarah banyak kebudayaan. Tragedi sejarah kadang berawal dari bunga tidur kala manusia terlelap itu. Freud yang terkenal dengan psikoanalisisnya itupun muncul dengan penafsiran baru atas mimpi. Sampai kepada penafsiran mimpi untuk dicocokkan dengan nomor togel. Mimpi adalah pengharapan juga ketakutan. Atau hanya selingan tidur saja?

Saya tidak ingin membahas mengapa manusia bermimpi atau bagaimana mimpi bisa terjadi. Saya tentu tidak punya kompetensi untuk itu. Saya hanya ingin menulis dampak mimpi, khususnya bagi diri saya sendiri. Mimpi indah membuatku tersenyum kala terbangun. Mimpi buruk membuatku terkadang tertegun resah. Namun, sebagian besar mimpi yang ku alami tidak pernah ku anggap serius.

Sampai detik ini mungkin ada tiga mimpi yang menjadi pengecualian. Pertama, mimpi basah pertamaku, yang menurut banyak ahli menandakan peralihan dari anak-anak menjadi remaja dan dewasa. Beruntungnya diriku ketika dalam lelapku aku bisa bermesraan dengan Salma Hayek. Wow.

Pernah juga suatu kali aku berada jauh dari rumah. Bersama kawan, aku ke luar kota selama seminggu. Pada malam kedua, aku bermimpi Mamaku sakit. Tanpa banyak pertimbangan aku memutuskan untuk pulang. Syukurlah Mamaku baik-baik saja. Terimakasih Tuhan.

Ketiga adalah mimpi yang baru saja ku alami. Nampaknya tak perlu kuceritakan isi mimpiku. Mimpi yang sederhana. Tapi mengingatkanku akan sakitnya kehilangan. Mimpi yang menyentak jiwa. Dan menyadarkanku akan perihnya penyesalan. Karena dalam mimpi, aku kehilangan wanita yang kucintai. Ia meninggalkanku. Dan aku adalah penyebabnya. Aku tidak memperlakukan diriku seperti orang yang mencintainya. Aku tidak memperlakukan dirinya seperti orang yang dicintaiku. Ia ada bersamaku lalu menghilang.

Mimpi ini seperti cerminan diriku saat ini. Mimpi ini seakan mmperlihatkan apa yang akan terjadi jika aku terus seperti ini. Menyia-yiakan kesempatan dan waktu. Dan aku berterimakasih mimpi ini mengingatkanku sebelum aku benar-benar kehilangan dirinya. Dulu, aku pernah berjanji kepadanya akan selalu mencintainya. Sekarang, aku berjanji kepada diriku sendiri untuk selalu mencintainya.

Mimpi yang mengingatkanku akan pentingnya arti dirinya bagiku.