Thursday, June 14, 2007

Ga Tau : Hidup, Uang

Gw hampir lupa betapa sederhana hidup itu seharusnya. Entah sudah berapa lama gw tak pernah menikmati sinar hangat mentari pagi. Bangun pagi bersamaan dengan kokok ayam jantan dipucuk pohon jambu di belakang rumah. Duduk diteras depan menyaksikan mentari perlahan membuka mata dan merayap diangkasa. Segelas teh manis hangat dan sepiring singkong rebus menanti dimeja seusai membersihkan halaman dan mandi. Atau terkadang secangkir kopi dengan kue basah. Menyusuri jalan setapak bebatuan, diantara rimbun pepohonan dan burung-burung yang berkicau. Tak tergesa-gesa diburu waktu.

Entah sudah berapa lama gw tak pernah berjalan-jalan sore, menapaki detik demi detik saat matahari terbenam di cakrawala barat. Digantikan langit malam diiringi rembulan dan gemintang. Berbincang berbagai hal selepas makan malam. Hal yang ringan, mengenai burung yang berterbangan, tupai yang berloncatan, ikan-ikan yang berenang riang, alam yang nyaman.

Kemudian hidup mulai rumit. Disaat saat gw mulai menyadari kehadiran ketidakadilan dan penderitaan didunia ini. Disaat keinginan melompat jauh melebihi kebutuhan. Ketika melihat begitu banyak orang yang sakit dan kelaparan. Orang-orang yang tak memiliki tempat tinggal. Orang-orang yang tak memiliki pekerjaan dan penghasilan tetapi tetap harus makan dan bertahan. Orang-orang yang harus bekerja keras agar tidak kelaparan, dan memiliki tempat berteduh. Saat kebutuhan terpenuhi, giliran berbagai keinginan berteriak. Berbagai inovasi dan teknologi yang seharusnya membawa manusia kepada kehidupan yang lebih baik justru terkadang menjerat dalam perangkap keserakahan.

Gw membayangkan hidup pada ribuan tahun yang lalu. Ketika yang manusia butuhkan dan inginkan tak jauh berbeda. Manusia hanya butuh makan. Lalu manusia butuh pakaian untuk berlindung dari dinginnya malam. Manusia butuh tempat tinggal untuk berteduh dari teriknya mentari dan basah hujan. Manusia butuh pasangan. Manusia butuh keluarga untuk saling berbagi dan membantu. Cukup.

Apakah mereka butuh negara, hukum, tentara, polisi, jaksa, hakim, atau pengacara? Apakah mereka butuh televisi, majalah, koran, atau tabloid?

Apakah mereka butuh mobil, motor, pesawat, kapal, atau kereta?

Apakah mereka butuh komputer, handphone, PDA, atau communicator?

Lalu, hidup perlahan-lahan mulai rumit. Mengapa? Karena manusia memiliki akal. Lihatlah binatang yang dari jaman pertama ada sampai hampir punah hidupnya begitu-begitu saja. Naluri dasarnya hanya bertahan hidup, makan, minum, istirahat, dan seks. Tapi, manusia…dalam rentang hidup yang lebih singkat, perubahan yang terjadi sangat dahsyat. Manusia punya akal.

Sekarang, manusia tetap butuh makan. Tapi mau makan apa? Makanan ala warteg yang satu porsi lima ribuan atau makanan ala hotel bintang lima yang harganya jutaan. Pakaian? Mau dari harga sepuluh ribuan atau ratusan juta keluaran desainer terkemuka. Rumah? Ada yang tidur di kolong jembatan sampai ada yang tinggal diistana berharga Milyaran.Wanita??? Ga usah gw bahas ah.

Sesuatu yang sebelumnya tak pernah terbayangkan ada, tak bisa lepas dari hidup manusia. Misalnya gw tak bisa satu haripun lepas dari handphone. Gw butuh itu untuk berkomunikasi. Pertama, ketika gw memutuskan membeli handphone. Lalu, gw harus memilih salah satu operator telepon. Handphone tersebut memerlukan listrik. Gw butuh berlangganan listrik. Dan sebagainya…Mungkin tak cukup seribu halaman menceritakan kerumitan dari kepemilikan satu unit handphone saja. Melibatkan jutaan orang yang lain. Tapi apa yang menyebabkan itu semua terjadi. Uang. Uang yang menggerakkan semuanya. Penjual roti tidak menjual roti karena orang butuh roti, tapi ia butuh uang dari orang yang membeli roti darinya. Uang untuk membeli hal-hal lainnya.



Sejenak gw berhenti. Memperhatikan barang-barang yang ada dikamar. Mulai dari sebuah laptop merek Dell didepanku beralaskan semua meja kecil bergambar Spiderman. Dari laptop tersebut, tersambung sepasang speaker dan printer. Aku duduk diatas kasur kapuk dengan seprei berwarna biru muda bergambar bunga. Aku melirik sedikit ke kiri, satu handphone Samsung, satu handphone nokia, satu flashdisk kapasitas 128 MB, dan satu unit PDA phone tergeletak, korek api gas, dan satu botol minuman dingin. Melirik ke atas sedikit, sebuah jam dinding hadiah dari asuransi Mega menempel di tembok. Lalu, dilangit-langit tergantung lampu 10 watt. Didepanku, dekat colokan listrik ada satu unit stabilizer dengan colokan televisi dan kipas angin tertancap. Lalu disebelah tv, bertumpuk kardus berisikan buku. Diatasnya ada sebuah kamera digital Samsung dan DVD Player. Alamak. Begitu rumitnya. Coba tanyakan kepada manusia yang hidup seratus atau lima puluh tahun yang lalu. Apakah mereka sudah mengenal barang-barang tersebut???

Tapi satu hal yang membuat segala yang rumit menjadi mudah didunia ini. Apalagi kalau bukan Uang. Siapapun yang memiliki cukup uang hampir dapat membeli segalanya. Tak hanya barang tapi juga keahlian. Yang tak mengerti pengobatan dapat membayar dokter. Yang tak paham hukum dapat membayar pengacara. Yang tak bisa menyetir dapat membayar sopir. Yang tak paham akuntansi dapat membayar akuntan. Yang tak mengerti arstitektur dapat membayar arsitek. Yang ingin menghabisi nyawa orang lain dapat membayar pembunuh. Apa lagi yang tersisa yang tak dapat dibeli oleh uang? Istilah sekarang, muka elo juga gw bayarin.

Ada yang bilang uang memang penting, tapi bukan yang terpenting. Uang bukan segalanya. Ah, masa??? Tembok idealisme pun roboh oleh tumpukan uang. Ada yang bilang manusia tak bisa membeli waktu. Ada yang bilang manusia tak bisa membeli cinta. Dua hal yang abstrak. Tunjukkan padaku waktu dan cinta.

Cinta. Apa itu cinta? Ada yang bilang kamu bisa memiliki tubuhku tapi tak bisa membeli cintaku. Seperti kisah Siti Nurbaya yang akhirnya menikahi Datuk Maringgi. Atau cerita pelacur jalanan sampai wanita yang berpakaian rapi di balik blazer Prada-nya. Banyak orang yang menjual cintanya demi harta. Menikahi pria atau wanita kaya karena uang berlimpah. Daripada hidup susah, tubuh bagus, wajah menawan, luluh didepan kilauan materi. Ya, uang dapat memberi banyak kenyamanan.

Waktu. Mungkin ada benarnya, disini satu kesamaan manusia diantara banyak kesamaan yang dibedakan (Misalnya manusia sama-sama makan, tapi makan makanan yang berbeda. Meskipun ada manusia yang tak punya makanan untuk dimakan). Aku mengenal seseorang yang masih bisa bertahan hidup dengan menjalani cuci darah seminggu dua kali, dan operasi jantung empat kali. Walau akhirnya ia meninggal 10 tahun setelah operasi jantung pertamanya. Apa jadinya kalau ia tak punya uang untuk membayar itu semua? Padahal ada juga yang kukenal meninggal karena tak punya uang untuk mengobati tumor kecil ditengkuknya yang kemudian menggerogoti hidupnya, meskipun telah menjual semua harta bendanya.

Yang lahir pasti mati. Yang membedakan cara ia mati, tapi toh tetap mati. Banyak manusia dikenang dengan bagaimana ia hidup dan bagaimana ia mati. Atau keduanya. Atau tidak sama sekali. Terkadang hidup dan mati terkotak dalam berapa banyak uang yang kita punya. Dan gw hampir lupa betapa sederhana hidup itu seharusnya.

No comments: