Friday, July 6, 2007

Tidak Harus Tidur Untuk Bermimpi

Terkadang aku berada dalam situasi dimana satu bagian dalam hidup terasa bagaikan mimpi indah. Tapi, aku sadar kadang aku terbuai dengan harapan yang membumbung tinggi. Dan suatu hari, cepat atau lambat, mimpi itu harus berakhir tanpa harus terbangun dari tidur.

Dan mimpi itu terjadi kemarin, tanpa aku harus terlelap. Dan cepat atau lambat akan berakhir dalam kejapan mata, entah menjadi nyata atau memang cuma mimpi. Bisa jadi kenyataannya begitu menyesakkan dada. Kapan? May...may be yes, may be no. Tapi dia yang memberiku mimpi memberikan tenggat waktu. "Dalam beberapa minggu ini pasti ku pastiin," ujarnya. "Aku masih kurang yakin."

Beberapa minggu?! Wow...Sanggupkah jantungku bertahan untuk terus berdetak sampai detik itu. Entahlah. Andai ia tahu, jangankan hitungan minggu, dalam rentang jam saja jiwaku sudah cukup tersiksa.

Terkadang pilihan yang termudah adalah yang terbaik. Haruskah aku begitu? Mungkin aku harus menenggelamkan diriku dalam kerja yang tak pasti. Kantor yang absurd. Tak usah bermimpi dalam sadar.

Adakah dia berbagi mimpi yang sama denganku? Dan aku akan berhenti bermimpi. Dan aku tak akan memimpikannya dalam sadar. Meskipun aku tahu aku memang sangat mencintainya. Aku tak ingin mengecewakannya. Ya, cintaku tak berarti tanpa bahagianya.

Seperti paradoks dalam lirik lagu Guns n' Roses : I can't have u right now, I'll wait
Or
I used to love her but i have to kill her
Hehehe...
But i don't have to bury her six feets under in my backyard
I just have to kill her in my mind, in my heart.

Manusia tak bisa selamanya bermimpi.

Life goes on, begitu pula hidupku dengan atau tanpa dirinya. Mungkin berhenti sejenak, lalu berlari...

Akhir Juli. Tenggat waktu yang menentukan. Satu keputusan penting dalam hidupku akan terjadi paling lambat pada tanggal 31 Juli 2007. Sayangnya, bukan aku yang punya kuasa yang menentukan.

Aku ingat kejadian beberapa tahun yang lalu. Mirip tapi tak serupa. Seorang perempuan bertanya padaku apakah aku menyukainya. Aku bertanya balik. "Kamu suka ga denganku?"

"Suka," jawabnya singkat. "Lalu kamu gimana?"

Aku terdiam sejenak. Berusaha menyimak dan mencerna pembicaraan kami. "Emang kalau aku suka gimana?"

"Oke," katanya lebih singkat lagi.

Sesaat terjadi keheningan. Aku bertanya-tanya apa maksudnya oke?

"Tapi, kamu aku beri waktu 1 tahun," lanjutnya.

Satu tahun?! Untuk apa?

"Dalam satu tahun aku akan melihat apa yang terjadi," ujarnya.

Semuanya membingungkan bagiku. Pertama, aku masih tak mengerti apa maksud kata "oke" yang keluar dari bibir tipisnya. Apakah ia berpikir pertanyaanku tadi merupakan pernyataan cintaku kepadanya? Kedua, ia memberiku waktu satu tahun. Lalu, dengan kebingungan yang masih menggantung, dua bulan kemudian, ia menyatakan aku layak untuk menjadi pacarnya. Hah! Bagaimana semua keputusan seperti itu ia yang menentukan? Ia menentukan bahwa aku telah menyatakan cinta kepadanya. Ia menentukan tenggat waktu satu tahun. Ia menentukan bahwa aku lulus masa percobaan. Mengapa aku mau menjalani itu semua? Entahlah. Ternyata aku gagal memenuhi deadline berikutnya. Menikah.

Setelah setahun lebih menjadi wartawan sebuah harian "waktu", aku semakin terbiasa dengan tenggat waktu alias deadline. Aku menghadapi tantangan deadline setiap hari. Tapi, aku tak menyangka dalam urusan cinta aku masih harus berhadapan dengan deadline.

Deadline ini tak hanya untukku. Tapi ia juga memberi deadline untuk dirinya sendiri. Que sera sera.

No comments: