Wednesday, May 9, 2007

KAPAN???

KAPAN???

“Kapan?” tanya sepasukan orang kepada Ringgo kompak.
“May...”jawab pemeran film jomblo tersebut singkat.
“Hei....Ringgo mau nikah bulan Mei,” teriak seorang perempuan histeris.
“May be yes, may be no,” ujar Ringgo santai sambil mengunyah makanan dan ngeloyor pergi.
Yup, sepotong adegan dari satu iklan rokok yang kerap mengisi layar kaca akhir-akhir ini.

Suatu waktu, aku mendapat ide untuk menggunakan jawaban itu. Minggu pagi, 30 menit menuju pukul enam, Mamaku menelepon. Seperti biasa, setelah bertanya kabar, tak tertahankan kemunculan pertanyaan pamungkas itu. “Kapan?” tanya Mamaku.

Ku jawab dengan santai dan singkat ala iklan,”May...”

Dengan sigap Mamaku merespon,”Katanya Februari, kok jadi Mei.”

Aku terdiam sejenak. Aku pikir aku tak bisa menjawab “may be yes, may be no”. Bisa-bisa aku mendapat kuliah pagi 3 SKS dari Mamaku. “Jadi, maunya kapan?” aku bertanya balik.

“Secepatnya. Tapi jangan tahun ini,” kata Mamaku. Tahun ini, maksudnya adalah tahun babi kalender versi Cina. Aku yang bershio babi, konon katanya kurang baik menikah ditahun babi. Ya, bagiku cukup membantu untuk mengurangi tekanan setidaknya untuk satu tahun. Aku kerap protes. “Aku masih terlalu muda untuk menikah,” kataku. Sekarang, umurku belum genap 24 tahun. Tapi, seperti demo-demo dipinggir jalan, suaraku hanya sebentar tergiang, lalu menghilang.

Jon, kakakku, menikah ketika ia berumur 25 tahun. Cukup muda. Sekarang ia sudah memiliki putri perempuan yang lucu berumur 6 bulan. Tapi jangan tanya kepada orang-orang di kampung halamanku, di Bangka sana. Meskipun sudah memasuki dunia modern, tapi paradigma kalo udah KERJA lalu KAWIN, tetap berjaya. Aku ingat dengan teman-teman satu angkatanku SD dulu. 90 persen dari mereka telah menikah dan punya anak. Bahkan ada yang telah menikah dua kali dan tiga kali.

Teman-teman SD, SMP, hingga SMA-ku, sudah banyak yang berguguran dari status lajang mereka. Aku ingat pula ketika SMA dulu, aku orang yang hobi keluyuran dengan dua teman dekatku, Edi dan Amsuri. Setiap hari, sepulang sekolah, balik kerumah sebentar, kemudian pergi lagi. Begitu juga ketika aku ke Jakarta. Semester-semester awal kuliahku ku habiskan dengan keluyuran. Mamaku sempat protes. “Jangan keluyuran terus,”katanya. Bukan karena protes Mamaku, tapi aku merasa bosan juga. Aku semakin jarang keluar rumah. Seperlunya saja. Bahkan pergi kuliah aja malas....parah. Ketika pulang kampung pun, sebagian besar waktu ku habiskan dirumah saja. Membaca buku, menonton televisi, mengutak-atik mesin motor, mobil, komputer, apa saja yang penting dirumah. Hal ini menimbulkan kekuatiran didiri Mamaku. “Sekali-kali keluar rumah lah. Jalan-jalan kemana gitu,” katanya.

Mama sering menelponku dimalam minggu hanya untuk mengingatkanku agar keluar jalan-jalan. “Cari pacar sana,” ujarnya. Hahaha....lucu. Aku ingat ketika semester 9 dan 10 kuliahku. Pertanyaan yang gencar diajukan juga “KAPAN?” Tapi kapan lulus. “Kok yang lain sudah lulus, kamu belum?” Apa hendak dikata. Keluarlah petuah-petuah dari Mama. “Kamu jangan pacaran dulu. Selesaikan kuliahmu.” Bahkan, pesan itu masih terselip tiga hari sebelum aku menghadapi ujian komprehensif. Tak disangka, jadi sarjana juga akhirnya.

Aku sudah melewati K yang pertama, yaitu KULIAH. Tepat pada saat aku menelepon Papa dan Mamaku mengabarkan bahwa anaknya ini lulus juga, keluar sebuah pertanyaan yang tak aku duga. “Sudah punya pendamping belum buat wisuda?” Alamak. Baru tiga hari yang lalu Mama bilang jangan pacaran. Belum genap satu kali dua puluh empat jam lulus, sudah ditanya tentang pendamping. “Memangnya tinggal mungut dijalan,” jawabku sedikit kesal.

Memang aku memiliki “pendamping” saat wisuda. Perempuan yang sangat cantik, baik, dan cerdas. She’s so special. Tak ada hal yang lebih aku inginkan didunia ini daripada dia. I do love her. Tapi, aku tak tahu apa yang terjadi dengan kami. It just so complicated. Aku memperkenalkan dia kepada Papa dan Mama sebagai seorang teman. Karena ia memang hanya teman. Tidak lebih. Mama menyukainya. Papa tak banyak bicara, tapi sepertinya setuju dengan Mama. Setelah itu, mulailah Mama gencar menanyakan status hubunganku dengan dia. Aku selalu berkilah. “Aku tak mau memikirkan itu dulu. Nantilah, ketika aku sudah tak lagi menjadi pengangguran,” kataku.

Tapi, Mama berpikiran lain. “Memangnya ga bisa bareng? Mama kan tidak memintamu untuk langsung menikah. Pacaran aja dulu,” kata Mamaku. Dan yang terjadi selanjutnya adalah sederet kisah lara. Aku semakin jauh darinya. Walau aku tahu dalam hatiku aku mencintainya, tapi memang ada jarak antara kami berdua. Seperti kami hidup di dua dunia yang berbeda. But, she’s always on my mind. She’s always on my heart. Aku menjalani K yang kedua, KERJA. Setelah itu muncul tuntutan baru tapi lama, apalagi kalau bukan K yang ketiga, KAWIN. Mama semakin rutin saja bertanya. Setelah berbulan-bulan berisikan desakan, akhirnya Mama tak lagi terlalu memaksa bertanya tentang dia. “Terserah sih siapa. Yang penting orangnya baik dan menyayangimu.” Aku tak peduli. Aku mencintai kebebasanku saat ini. Aku mencintai kehidupanku.

Seperti kata Seurieus Band, aku adalah jomblo bahagia. Bukan berarti aku tak pernah mencoba menjalin hubungan dengan wanita lain. Tapi, hatiku tak bisa berpaling darinya. Lirik kanan, lirik kiri, semuanya kandas karena dalam hatiku aku tahu bahwa aku mencintainya. I love everything in her. Yang aku inginkan hanyalah bersamanya, bukan yang lain. Tapi...akhirnya aku menyadari satu hal kenapa semua usahaku dengannya berantakan. Aku belum bisa menjadikan dia sebagai hal yang terpenting dalam hidupku. She’s is my number one dalam urusan perempuan. Itu secara parsial. Tapi dalam skala hidupku yang lebih besar, aku menduakannya. Aku salah. Dan aku mencoba memperbaikinya. Jika memang bukan dia....tak tahulah.

No comments: